WCZrAiVeJ3gp8wpktlqz2dL3wmrWDCKajZMFL5f2
Bookmark

Jangan Batasi Aku, wahai Ayah Bunda!

Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Keberadaannya menjadi sosok yang sering dirindukan oleh sebagian besar pasangan ayah bunda sesaat setelah memulai hidup baru dalam berumah tangga. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa banyak anak banyak rezeki. Seringkali juga anak sebagai hiburan bagi semua orangtua disaat gundah gulana. Namun yang perlu kita ketahui, sebaliknya seorang anak itu sendiri sejatinya tidak berharap untuk dilahirkan di dunia. Justru kita-lah yang mengharapkan kehadirannya. Akan tetapi ketika mereka ditakdirkan lahir, maka sedikitpun tidak ada rasa penyesalan yang muncul dari mereka. Maka dari itu kita sudah seyogyanya bertanggungjawab penuh berperan sebagai orangtua saat anak kita lahir. Mulai dari mendidik, merawat, mengasuh, menafkahi dan lain sebagainya.

Tidak ada yang spesial mengenai kata 'anak'. Mereka juga sama-sama manusia sebagai makhluk Allah. Akan tetapi, hal yang paling digarisbawahi disini adalah keragaman yang ada pada manusia itu sendiri. Keragaman yang dimaksud ini adalah berbagai kecerdasan, keistimewaan atau kelebihan yang dimiliki setiap manusia. Sebagai contoh, beberapa dari anak ada yang suka kesenian namun kurang berminat dalam hal hitung-berhitung. Sebaliknya, ada yang suka berhitung namun anti dengan kesenian. Ada juga yang pandai dalam berolahraga namun tidak tertarik retorika. Sebaliknya, ada yang mati-matian ingin jadi dai/daiah kondang namun sering skip acara sepakbola. Ini hanya segelintir contoh kecil saja. Hakikatnya banyak sekali diluar sana yang secara sunnatullah berbeda satu sama lain. Lantas, poin apa yang harus dibahas dalam tulisan ini? Ya, sebagai sesama manusia, orangtua harus benar-benar menghargai seorang anak serta menyampingkan ego dan ambisi tertentu. Jangan pernah batasi seorang anak untuk memiliki satu kecerdasan tanpa memperdulikan kelebihan yang lain. 

Howard Gardner, seorang tokoh pendidikan dan psikolog asal Amerika, serta pengajar di Harvard University, mendefinisikan dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind : Multiple Intelligences Theory bahwa kecerdasan berperan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan sesuatu (produk) yang bernilai dalam suatu budaya. Definisi ini sejalan dengan peran Gardner itu sendiri sebagai pencetus teori Kecerdasan Majemuk. Menurutnya, kecerdasan setiap manusia itu terbagi menjadi delapan, diantaranya :

  1. Kecerdasan Verbal Linguistik
  2. Kecerdasan Logis Matematis
  3. Kecerdasan Interpersonal
  4. Kecerdasan Intrapersonal
  5. Kecerdasan Musikal
  6. Kecerdasan Kinestetik
  7. Kecerdasan Visual Spasial
  8. Kecerdasan Naturalistik

Dari penjelasan Gardner tersebut, penulis dapat menyederhanakan melalui satu gambaran contoh; anak cerdas bukan berarti anak pandai berhitung saja, namun dia yang mampu menjadi problem solving masalah yang dihadapi. Jika gambaran tersebut kita bahas, maka sebagai orangtua seharusnya kita tidak melulu memaksa kapabilitas otak anak untuk terus berpacu dalam berhitung, namun kita tetap mendukung minat dan bakatnya yang lain seperti olahraga, musik, menulis cerita dongeng dan sebagainya. 

Baru-baru ini, mungkin dari kita ada yang sudah mendengar kisah nyata seorang anak di China yang berniat 'balas dendam' atas perbuatan orangtuanya di masa kecilnya dulu. Lebih jelasnya, seorang anak yang kini sudah dewasa tersebut kini menggantungkan uang dari orangtuanya, atau dengan kata lain ia sengaja menjadikan orangtuanya bekerja untuknya. Alasannya? Ya, Zhang Xinyang, nama anak itu, mengaku sudah capek diperalat orangtuanya untuk selalu menjadi yang terbaik secara akademis. Ia mengaku dari kecil sudah dicekoki buku-buku pelajaran, belajar dan belajar secara terus menerus hingga ia berhasil menjadi bocah pintar harapan orangtuanya. Bahkan saking pintarnya di atas rata-rata, diumur 10 tahun dia sudah bisa merasakan bangku kuliah dan berhasil menyabet gelar doktoral di umur 19 tahun hingga menjadi dosen di usia 21 tahun, mengalahkan jenjang anak seusianya.

Zhang Xinyang / Source : Viva.co.id

Kecerdasan luar biasa tersebut tentu menjadi kebanggaan orangtuanya, namun tidak bagi Zhang. Sebagai orang yang cerdas, justru ia sadar bahwa ia hanya alat kebanggaan saja yang sedari kecil masa bermain bersama teman-temannya direnggut oleh orangtuanya. Kini, di umur 28 tahun, ia malah memilih menganggur dengan mengharap sokongan dari orangtuanya. Penulis berpendapat bahwa Zhang tentu merasa orangtuanya hanya batasi ia untuk fokus ke akademis saja, sampai waktu bermainnya terlewatkan. Padahal orangtua Zhang juga yakin bahwa ada potensi lain dalam diri anaknya. Akan tetapi mungkin sudah menjadi tabiat kebanyakan Asian Parent yang biasa membandingkan anaknya dengan anak tetangga. Hal itulah yang mendominasi orangtua Zhang ini.

Maka dari itu, sedari sekarang, mari kita berikan kebebasan bagi anak kita untuk meraih mimpi dan kesuksesannya melalui kecerdasan dan kelebihan masing-masing. Kita dukung sepenuhnya apa yang mereka minati dengan tetap pengawasan, apalagi di masa-masa Golden Age seorang anak. Sebab di masa ini, anak akan sangat mudah dididik dan diarahkan. So, untuk semua sahabat Abi, jangan batasi si kecil lagi ya!

Posting Komentar

Posting Komentar